Tweet dari @deelestari
membuat saya terbang ke angkasa ! Bagaimana tidak, ia adalah dewinya supernova,
buku yang saya baca bertahun-tahun, dan sering banget diskusi sama Mey (istri saya) dari
sejak SMA, mungkin lebih tepatnya sebagai bahan modus untuk ngobrol, saya juga
yang pinjemin alias ngeracunin Supernova saat di SMA, di perpustakaan depan lapang
basket modus itu sering terjadi. Gimana udah baca sampe mana kamu Supernova ?
Kurang lebih begitu pembuka obrolan, yang akhirnya berujung kita bahas ini
terus sampe nikah sekalipun hehe Jadi wajar saja jika saya
langsung ngagorenjat ketika ada tweet
@deelestari mengapresiasi Maicih, awalnya Teh Dee me-retweet akun kang Emil
@ridwankamil ketika kami kirim Maicih ke rumahnya kala itu di tahun 2011. Ini
seperti obat untuk hati yang sedang parah-parahnya tertusuk. Disebut anak durhaka lah, pilih pacar ketimbang keluarga, dan serba serbi fitnah dari banyak sisi, kami bisa lupakan
semua itu dengan tweet dari seorang Dee Lestari. Seperti oase di tengah gurun.
Spontan kami percaya ga
percaya akan apa yang kami baca, ini tuh beneran Teh Dee Lestari, saat itu kami
langsung tweet di akun @maicih yang waktu dipegang oleh saya dan mey, ya
sekarang juga masih sih sesekali, alter ego emak-emak tersalurkan lewat tokoh fiktif
brand Maicih ini emang hahaha. Dan kami lewat @maicih coba menggoyang kapankah
akan dilanjutkannya buku Supernova, di mana gosip beredar Teh Dee emang sudah
mulai ngerjain Partikel, katanya sih begitu, tak menyangka akan direspon
besoknya dengan Re-Tweet, yang membuat kami semakin kegirangan. Wow banget gitu kan ketika idola membalas fansnya, gimana sih rasanya ya tak bisa digambarkan. Walau
membalasnya dengan akun brand ya tetap aja senang ga kepalang. Serial Supernova teh Dewi
Lestari yang saya ikuti sejak saya duduk di bangku SMA di tahun 2003 ini emang
sesuatu, dari karya pertamanya Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh sudah kepincut
akan kepiawaian the Dee dalam menulis. Sepertinya harus setuju ia adalah salah
satu yang membuat dunia sastra indonesia mengeliat, saya tergila-gila dengan
karya beliau sampai hari ini dan terus mengikuti Supernova yang selalu membuat
saya terbawa ke alam tokoh rekaan Dewi Lestari seperti Etra, Alfa, Zarah,
Mprets, Bodhi, ataupun si Bong. Beberapa karya Dewi Lestari (Supernova) ini
juga secara tidak sadar mempengaruhi saya dalam berkarya hingga akhirnya
menemukan ide keripik Maicih salah satunya, memang tidak langsung jadi ada
Maicih level Supernova atau kripik Maicih seri Partikel misalnya hehe. Tapi
karya-karyanya Dewi Lestari yang saya baca, seringkali membuat saya tertantang
untuk menciptakan karya yang jujur, story telling yang kuat, hingga menyentuh
banyak orang, dan tentu saja kisah atau konsep yang bisa menggugah nalar.
Salah
satu yang paling saya ingat adalah bagaimana Dewi Lestari memasukkan sepercik
elemen dari teori memetics / virus of the mind (Richard Brodie) dan teori
Simulacrum (Jean Baudrillard) di buku Supernova yang pertama, dan juga teori
sinkronitas di beberapa karyanya membuat saya penasaran dan menggali lebih
dalam teori-teori tersebut, sampai saya lanjutkan mencari ilmu itu ke bukunya
Hipersemiotika Pak Yasraf Amir Piliang, sampe-sampe saya akhirnya kenal dan ketemu juga
dengan Pak Yasraf. Jadi benar adanya ungkapan bahwa dunia itu sempit, sesuatu
yang bisa dilipat realitas ruang dan waktunya, bisa dipastikan Maicih sebagai
sebuah karya, kalau saya pribadi percaya ada sinkronisasi harmoni koneksi
antara rangkaian kejadian saya pribadi dengan buku-buku teh Dee yang akhirnya
Boom! Supernova saya adalah Maicih. :)
Teh Dee
emang Juara Dunia ! Setenar apapun dirinya, sebanyak apapun fansnya, tetaplah
membumi. Ia tetaplah manusia biasa yang masih ingat dengan masa mudanya masih
tinggal dan sekolah di Bandung. Ia tetap manusia biasa yang sunda bocor. Dari
cuitan di twitter, nyambung di Direct Message, kenalan di dunia maya dengan
mengakui kami adalah salah satu addeection,
sampai memberanikan diri minta nomer kontek pribadinya, sampai tiba masa di
mana akhirnya kami bisa bertemu tatap muka pertama kalinya langsung di Gramedia
PVJ untuk launching buku Partikel Supernova, semua begitu mengalir, tak ada
kesan bahwa ia adalah sosok idola yang sulit digapai, ternyata teh Dee begitu
rendah hati, dan membuat kami makin jatuh cinta dibuatnya. Ada cerita menarik
ketika bertemu di PVJ tersebut, selama ini kan waktu remaja cuma lihat di TV,
majalah, dan lainnya. Kemudian nyambung di masa maicih sudah lebih maju menjadi sahabat
socmed ahahay, sampai akhirnya kita email teh Dee, kami tanya nanti pas ketemu
di PVJ mau dibawain apa teh ? Kan waktunya cuma bentar di Bandung, siapa tau
mau apa gitu yang ga sempet, biar kami yang carikan, sebuah kewajaran fans yang
berubah jadi teman ingin berbuat lebih dong ya alias nyogok lah biar makin
berkesan gimana gitu pertemuan kami. Dan jawabannya teh Dee begitu mengagetkan : Kalau
tidak merepotkan mah nasi ma eha dan serba-serbi jajanan cihapit.Buat
kami itu adalah sesajen untuk Mak Suri yang super mudah untuk dilaksanakan,
karena Cihapit adalah tempat kami jajan juga hampir bisa dibilang tiap hari
pasti lewat, karena rumah mertua saya di Jalan Ermawar, ya deket banget dengan Cihapit, dan
belakangan saya tau dari Mey ternyata teh Dee dan keluarga sempat tinggal di
Patrakomala, ga jauh dari rumah mertua. Itu berarti ketika saya masih remaja
suka maen ke Ermawar gitu ya, teh Dee bisa jadi lagi nulis buku Supernova, dan
beberapa tahun kemudian universe itu bermuara di tempat yang sama. Saya jatuh
cinta dengan wanita yang tempatnya dekat dengan teh Dee mulai menulis. What a
beautiful coincidence. Sesajen aneka jajanan Cihapit berhasil diberikan, dan
membuat kesan yang memorial, plus teh Dee bisa foto dengan Maicih. Sebuah misi
yang super-berhasil.
Perjalanan
pertemanan dengan teh Dee terus berlanjut, sembari terus membangun bisnis
Maicih dengan segala tantangannya, buku teh Dee terus menjadi bacaan wajib,
sudah berapa kali pun kami baca tetap seru, tetap ada sudut lain yang bisa
dibahas, bukan hanya Supernova Series, tapi juga Perahu Kertas, Filosofi Kopi,
Madre, Rectoverso, ya semuanya lah, kayanya kita udah khatam berkali-kali
dengan pengalaman yang selalu berbeda setiap membacanya, karena kami paham kami
pun bertumbuh. Dulu saat SMA baca Supernova banyak banget kosakata yang ga ngerti
sampe penasaran dengan kata simulacra simulacrum yang sempat saya jadikan nama
usaha brand dengan beberapa teman SMA, ya banyak lah kisahnya gegara teh Dee.
Ia tanpa sadar, selalu menginspirasi kita untuk terus bertanya tentang apa arti
hidup kita.
Eposide berlanjut ketika diiundang ke perayaan 15 Tahun
Supernova, eh iya dong diundang kami mah, fans yang naik kasta haha sombong. Ada
satu hal paling positif dari Dee Lestari yang saya tangkap saat penutupan serial Supernova : Intelegensi Embun Pagi. Teh Dee punya etos kerjanya yang ga kenal lelah
dalam berkarya membuat Supernova Series dan semua bukunya sampai di titik
sekarang sangat patut untuk kita contoh. 15 tahun dengan segala polemik hidup,
jatuh bangun sudah pasti dalam berkarya, gimana mengatur waktu sebagai orang
tua, keseimbangan dengan pasangan, keselerasan rumah tangga, belum lagi sebagai
public figure pasti banyak jadi sorotan. Maicih menjadi sorotan dan gonjang
ganjing perpecahannya seolah ga ada apa-apanya. Teh Dee sebagai individu pun
adalah panutan kami dalam menyeimbangkan hidup, berkarya untuk berkarya.
Saat
acara 15 tahun supernova pun banyak testimoni dari beberapa sahabat beliau pun
bener-bener tulus apa adanya tentang bagaimana karya Dewi Lestari mampu
mengubah peta sastra Indonesia dan menginspirasi banyak orang, dari
perjuangannya yang tak kenal menyerah ini sekarang siapa sih yang ga mau
mengangkat cerita-cerita dari bukunya untuk diangkat ke layar lebar.
Temen-temen bisa lihat sendiri setiap film yang diangkat dari bukunya Teh Dee
selalu penuh di bioskop.
Ada
banyak moment yang mengharukan saat acara itu dari sahabat teh Dee yang tau
benar ia sebelum sampai ke titik ini, salah satunya ketika Pak Triawan
Munaf menangis terharu setelah apresiasi dari teh Dee Lestari. Sahabat
yang mendukung dan membantu Teh Dee ketika Supernova pertama kali dirilis tahun
2001. Ternyata begitu sulitnya meluncurkan buku kala itu, dengan tanpa latar
belakang sastrawi sama sekali dong tentu saja, ia bikin Supernova ini
semata-mata memberikan hadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri di usia 25 tahun,
sebuah keputusan yang mengubah dunianya dan dunia banyak orang, termasuk saya.
Buterfly effect.
Kemudian
yang kedua, saat ayahanda dari Dee Lestari naik ke atas panggung bikin
merinding. Kalau kita berkarya itu emang jangan setengah-setengah, buatlah
orang tua kita bangga akan apa yang kita lakukan. Berusahalah jadi anak terbaik di
keluargamu, itu yang bisa saya tangkap kemarin di acara beberapa tahun lalu. Walau tak ada patokannya, dan semua anak bisa menjadi yang terbaik dan semua anak pasti disayangi orang tuanya, tapi banggakanlah orang tuamu dengan apa yang kita bisa, berprestasilah hingga puncak tertinggi. Ini menjadi semacam refleksi diri, dengan
segala proses kehidupan dan sampai di titik mempunyai bisnis Maicih dan
lainnya, salah satu impian saya adalah apa yang teh Dee bisa berikan pada
orangtuanya. Sebuah momen yang tak ternilai harganya. Bukan melulu soal uang,
tapi sebuah penghargaan. Itulah sosok teh Dee panutan yang kucinta.Terimaicih
banget sekali pisan teh Dee Lestari buat semua karyanya dan sudah
mengundang kita. Merinding dan terharu sepanjang acara 15 Tahun Supernova.
Sureal berada di acara waktu itu sebenarnya, tak pernah mengira dulu pas SMA
bahwa akan bertemu langsung empunya Supernova di penghujung serial Supernova,
rasanya itu seperti bertemu 'Dewi' terus ikut terbang ke atas langit. Saya
setuju dengan yang dicuapkan Alvin Adam saat itu: kompleks.
Deretan
tambahan kebanggaannya adalah saat teh Dee launching buku Aroma Karsa di
Bandung, kami pun diundangnya, sebuah kehormatan tentu saja hingga saya cancel
semua jadwal saya untuk teh Dee, karena ini penting. Saya selalu merasa penting
ketemu teh Dee, cuma berapa menit aja berharga, apalagi saat itu ada sesi
talkshow seputar trik menulis. Benar saja penting toh, selain acara yang teh
Dee bikin selalu bukan hanya acara launching buku biasa, ia bisa menggugah
nalar dan memantik banyak energi, terlebih karena emang Aroma Karsa adalah sebuah
karya teh Dee yang semakin pol, epic, keluar dari zona nyamannya, dan asli
keren parah, one of the greatest. Namun ada yang menggelitik alam pikiran saya
saat itu, sebuah pertanyaan kapan saya mulai bikin buku ? Ada keinginan itu
terbersit beberapa tahun saat saya sudah mulai membangun Maicih, perjalanan
hidup dan bisnis ini harus kutuliskan. Di acara itu teh Dee mengingatkan ga ada
alasan untuk ga punya waktu menulis membuat karya, bahkan ia memberikan contoh
saat acara ia bersama Mas Reza Gunawan plus bawa Keenan dan Atisha, bahwa waktu
bersama keluarga bukan berarti membuat karya berhenti. Kuncinya adalah memiliki
target dan manajemen waktu. Pusing sekaligus terinspirasi. Tertampar.
Kami berdua adalah pansos sejati,
social climber untuk semesta teh Dee Lestari hehe. Dari seekor fans yang
mendamba idolanya dari sangat jauh, terkagum-kagum oleh setiap tulisannya dan
terinspirasi untuk berkarya, mencari ilmu tentang yang banyak saya tidak tau
dari semua tulisannya. Beberapa tahun berlalu sampai bisa menjadi teman di
dunia maya berkat twitter maicih. Dilanjut menjadi teman di dunia nyata setelah
dengan bangga punya nomer kontak pribadinya. Kini hubungan kami menurut saya
adalah yang paling terbaik dari semua konsep hubungan fans dengan idola yaitu hubungan
guru dengan murid. Dikarenakan kelas kaizen workshop yang ia bagikan di masa
pandemik, resmi membuat saya belajar teknik menulis dan menyiapkan mental
positif dalam komitmen untuk sebuah kata tamat ala teh dee lestari, sah sudah
menjadi murid padepokan kanuragan Dewi Lestari yang alhamdulillah ujungnya memaksa
diri menuntaskan sebuah buku mungkin, haha masih excuse dengan kata mungkin. Yang jelas We love u Teh Dee. Always.
Comments
Post a Comment